Semua kandungan di dalam blog ini adalah dari tulisan Ustaz Adi Yanto Meridukansurga di laman Facebooknya. Saya sekadar mencuba menghimpunkannya untuk manfaat semua umat. Terima kasih kepada Ustaz Adi yang memberikan keizinannya - Tulus dari Cipher.

23 Jan 2013

Jangan Pernah Membuat Orangtua Meneteskan Airmata-nya


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 


Photo: Jangan Pernah Membuat Orangtua Meneteskan Airmata-nya 
Nasihat


Bismillaahirrohmaanirrohiim
Assalamu’alaykum warohmatullaahi wabarokaatuh


Ikhwaanii wa Akhwaatii rahimakumullah yang dirahmati oleh Allah SWT…


Zaman dan hidup telah berubah…
Sebenarnya, orangtua hanya mengharapkan perhatian,
dan kasih sayang dari anak-anaknya.
Wahai… Dimanakah surga itu?
Maka dalam salah satu hadits shoheh dikatakan;
“Berbaktilah terus kepadanya (sang ibu) karena surga itu berada di bawah telapak kakinya.” (HR. Ahmad, An-Nasa’iy, dan Ibnu Majah).

Tapi sekarang, apakah itu masih berlaku!?
Kenyataannya, banyak di antara anak-anak yang kini sudah besar,
tega menganggap setiap ikatan antara anak dan orangtua,
tidak ubahnya mereka pandang hanya sebagai anak tangga.
Mereka melangkahinya untuk mencapai tujuan.
Dan bila tangga itu tidak digunakan lagi,
tangga itu di anggap seperti kursi, seperti meja, baju yang rusak,
atau bahkan koran-koran bekas dan dianggap sebagai barang yang tidak berguna.
Barang yang tidak pantas mereka kenakan atau dipandang lagi.
Barang yang harus dimasukkan gudang…!? ^^,

Semoga saja kita segera tersentak dan menyadarinya…
Bahwa orangtua adalah akar yang kekar dari pohon yang berdiri tegak.
Meskipun pohon tumbuh dengan subur dan tinggi tegap,
tetapi bila akarnya di potong,
maka ia tidak akan tumbuh lagi!

MasyaAllah…

Aku tanyakan kepadamu wahai sahabat…
Bukankah demi kebahagiaan anak-anaknya,
setiap rupiah hasil jerih payah dari orangtua,
dibelanjakan dengan senang hati untuk anak-anaknya.

Tapi anak-anak itu…!?
Saat mata orangtuanya sudah kabur,
kenapa mereka takut memberikan sekadar sinarnya kepada orangtua!?
Jika orangtua bisa membantu dalam langkah pertama hidup kita,
lalu mengapa kita tidak bisa bantu menuntun langkah akhir dari orangtua!?

Sahabat…
Bila saatnya tiba,
bukankah posisi selaku orangtua bahkan menjadi tua dan tidak berdaya,
Demi Allah…
Pasti akan sampai pada diri kita masing-masing.
Bagaimana perasaan hati,
apabila apa yang tidak dapat kita berikan kepada mereka,
juga terjadi pada diri kita kelak!?

Sebelum segala sesuatunya menjadi terlambat,
dan penyesalan kemudian hanya berupa kata-kata
Maka marilah kita perbaiki kealphaan diri selama ini.
agar bersegera mengambil kesempatan,
berbakti dan membahagiakan orangtua.

♥♥♥♥♥ ^_^, ♥♥♥♥♥

Duhai Abi dan Ummi yang dimulikan oleh Allah SWT…
Maafkanlah salah dan khilaf yang pernah saya perbuat,
yang (mungkin) pernah melukai hati Abi dan Ummi,
yang (mungkin) pernah melawan kepada Abi dan Ummi,
yang (mungkin) pernah mengecewakan harapan Abi dan Ummi,
yang (mungkin) pernah lalai dalam berjanji kepada Abi dan Ummi,
dan (mungkin) pernah membuat Abi dan Ummi meneteskan air mata.

Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullaah…
Maafkanlah salah dan khilaf nanda duhai Abi dan Ummi tercinta…

Sungguh tak’kan sanggup nanda membalas perjuangan,
serta pengorbanan Abi dan Ummi untuk kehidupan nanda.
Maka dengan pemberian maaf dan ridha dari Abi dan Ummi,
insyaAllah itu akan dapat menyelamatkan hidup dan mati saya.

♥♥♥♥♥ ^_^, ♥♥♥♥♥

Bismillaahirrohmaanirrohiim…
“Robbanaa taqobbal minnaa innaka antas samii’ul ‘aliim. Wa tub ‘alainaa innaka antat tawwaabur rohiim.” (QS. al-Baqarah {2}:127-128).

{Yaa Robb kami, terimalah amalan kami, sesungguhnya Engkau Mahamendengar lagi Mahamengetahui. Dan terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkau Mahapenerima taubat lagi Mahapenyayang}.

Allahumma Robbil firli wa liwalidayya warhamhuma kama robbayani shoqiiro.

Allahumma sholi ‘alaa sayyidina Muhammad wa ‘alaa alii sayyidina Muhammad.




Barakallahu fiekum,
Wassalamu’alaykum wr.wb.


Nasihat

Zaman dan hidup telah berubah…
Sebenarnya, orangtua hanya mengharapkan perhatian,
dan kasih sayang dari anak-anaknya.
Wahai… Dimanakah surga itu?
Maka dalam salah satu hadits shoheh dikatakan;
“Berbaktilah terus kepadanya (sang ibu) karena surga itu berada di bawah telapak kakinya.” (HR. Ahmad, An-Nasa’iy, dan Ibnu Majah).

Tapi sekarang, apakah itu masih berlaku!?
Kenyataannya, banyak di antara anak-anak yang kini sudah besar,
tega menganggap setiap ikatan antara anak dan orangtua,
tidak ubahnya mereka pandang hanya sebagai anak tangga.
Mereka melangkahinya untuk mencapai tujuan.
Dan bila tangga itu tidak digunakan lagi,
tangga itu di anggap seperti kursi, seperti meja, baju yang rusak,
atau bahkan koran-koran bekas dan dianggap sebagai barang yang tidak berguna.
Barang yang tidak pantas mereka kenakan atau dipandang lagi.
Barang yang harus dimasukkan gudang…!? ^^,

Semoga saja kita segera tersentak dan menyadarinya…
Bahwa orangtua adalah akar yang kekar dari pohon yang berdiri tegak.
Meskipun pohon tumbuh dengan subur dan tinggi tegap,
tetapi bila akarnya di potong,
maka ia tidak akan tumbuh lagi!

MasyaAllah…

Aku tanyakan kepadamu wahai sahabat…
Bukankah demi kebahagiaan anak-anaknya,
setiap rupiah hasil jerih payah dari orangtua,
dibelanjakan dengan senang hati untuk anak-anaknya.

Tapi anak-anak itu…!?
Saat mata orangtuanya sudah kabur,
kenapa mereka takut memberikan sekadar sinarnya kepada orangtua!?
Jika orangtua bisa membantu dalam langkah pertama hidup kita,
lalu mengapa kita tidak bisa bantu menuntun langkah akhir dari orangtua!?

Sahabat…
Bila saatnya tiba,
bukankah posisi selaku orangtua bahkan menjadi tua dan tidak berdaya,
Demi Allah…
Pasti akan sampai pada diri kita masing-masing.
Bagaimana perasaan hati,
apabila apa yang tidak dapat kita berikan kepada mereka,
juga terjadi pada diri kita kelak!?

Sebelum segala sesuatunya menjadi terlambat,
dan penyesalan kemudian hanya berupa kata-kata
Maka marilah kita perbaiki kealphaan diri selama ini.
agar bersegera mengambil kesempatan,
berbakti dan membahagiakan orangtua.

♥♥♥♥♥ , ♥♥♥♥♥

Duhai Abi dan Ummi yang dimulikan oleh Allah SWT…
Maafkanlah salah dan khilaf yang pernah saya perbuat,
yang (mungkin) pernah melukai hati Abi dan Ummi,
yang (mungkin) pernah melawan kepada Abi dan Ummi,
yang (mungkin) pernah mengecewakan harapan Abi dan Ummi,
yang (mungkin) pernah lalai dalam berjanji kepada Abi dan Ummi,
dan (mungkin) pernah membuat Abi dan Ummi meneteskan air mata.

Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullaah…
Maafkanlah salah dan khilaf nanda duhai Abi dan Ummi tercinta…

Sungguh tak’kan sanggup nanda membalas perjuangan,
serta pengorbanan Abi dan Ummi untuk kehidupan nanda.
Maka dengan pemberian maaf dan ridha dari Abi dan Ummi,
insyaAllah itu akan dapat menyelamatkan hidup dan mati saya.

♥♥♥♥♥ , ♥♥♥♥♥

Bismillaahirrohmaanirrohiim…
“Robbanaa taqobbal minnaa innaka antas samii’ul ‘aliim. Wa tub ‘alainaa innaka antat tawwaabur rohiim.” (QS. al-Baqarah {2}:127-128).

{Yaa Robb kami, terimalah amalan kami, sesungguhnya Engkau Mahamendengar lagi Mahamengetahui. Dan terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkau Mahapenerima taubat lagi Mahapenyayang}.

Allahumma Robbil firli wa liwalidayya warhamhuma kama robbayani shoqiiro.

Allahumma sholi ‘alaa sayyidina Muhammad wa ‘alaa alii sayyidina Muhammad.

Barakallahu fiekum,
Wassalamu’alaykum wr.wb

22 Jan 2013

8 Pengertian Cinta Menurut Qur'an


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 

Menurut hadis Nabi, orang yang sedang jatuh cinta cenderung selalu
mengingat dan menyebut orang yang dicintainya (man ahabba syai'an
katsura dzikruhu), kata Nabi, orang juga bisa diperbudak oleh cintanya
(man ahabba syai'an fa huwa `abduhu). Kata Nabi juga, ciri dari cinta
sejati ada tiga :
(1) lebih suka berbicara dengan yang dicintai
dibanding dengan yang lain,
(2) lebih suka berkumpul dengan yang
dicintai dibanding dengan yang lain, dan
(3) lebih suka mengikuti
kemauan yang dicintai dibanding kemauan orang lain/diri sendiri. Bagi
orang yang telah jatuh cinta kepada Alloh SWT, maka ia lebih suka
berbicara dengan Alloh Swt, dengan membaca firman Nya, lebih suka
bercengkerama dengan Alloh SWT dalam I`tikaf, dan lebih suka mengikuti
perintah Alloh SWT daripada perintah yang lain.

Dalam Qur'an cinta memiliki 8 pengertian berikut ini penjelasannya:

1. Cinta mawaddah adalah jenis cinta mengebu-gebu, membara dan
"nggemesi". Orang yang memiliki cinta jenis mawaddah, maunya selalu
berdua, enggan berpisah dan selalu ingin memuaskan dahaga cintanya. Ia
ingin memonopoli cintanya, dan hampir tak bisa berfikir lain.

2. Cinta rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut,
siap berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis
rahmah ini lebih memperhatikan orang yang dicintainya dibanding
terhadap diri sendiri. Baginya yang penting adalah kebahagiaan sang
kekasih meski untuk itu ia harus menderita. Ia sangat memaklumi
kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya.
Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antar orang yang bertalian
darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya. Dari
itu maka dalam al Qur'an , kerabat disebut al arham, dzawi al arham ,
yakni orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang secara fitri,
yang berasal dari garba kasih sayang ibu, disebut rahim (dari kata
rahmah). Sejak janin seorang anak sudah diliputi oleh suasana
psikologis kasih sayang dalam satu ruang yang disebut rahim.
Selanjutnya diantara orang-orang yang memiliki hubungan darah
dianjurkan untuk selalu ber silaturrahim, atau silaturrahmi artinya
menyambung tali kasih sayang. Suami isteri yang diikat oleh cinta
mawaddah dan rahmah sekaligus biasanya saling setia lahir batin-dunia
akhirat.

3. Cinta mail, adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat membara,
sehingga menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung
kurang diperhatikan. Cinta jenis mail ini dalam al Qur'an disebut
dalam konteks orang poligami dimana ketika sedang jatuh cinta kepada
yang muda (an tamilu kulla al mail), cenderung mengabaikan kepada yang
lama.

4. Cinta syaghaf. Adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil
dan memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad
syaghafaha hubba) bisa seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir
tak menyadari apa yang dilakukan. Al Qur'an menggunakan term syaghaf
ketika mengkisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, istri pembesar Mesir
kepada bujangnya, Yusuf.

5. Cinta ra'fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan
norma-norma kebenaran, misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak
tega membangunkannya untuk salat, membelanya meskipun salah. Al Qur'an
menyebut term ini ketika mengingatkan agar janganlah cinta ra`fah
menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah, dalam hal ini kasus
hukuman bagi pezina (Q/24:2).

6. Cinta shobwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilaku
penyimpang tanpa sanggup mengelak. Al Qur'an menyebut term ni ketika
mengkisahkan bagaimana Nabi Yusuf berdoa agar dipisahkan dengan
Zulaiha yang setiap hari menggodanya (mohon dimasukkan penjara saja),
sebab jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir juga dalam perbuatan
bodoh, wa illa tashrif `anni kaidahunna ashbu ilaihinna wa akun min al
jahilin (Q/12:33)

7. Cinta syauq (rindu). Term ini bukan dari al Qur'an tetapi dari
hadis yang menafsirkan al Qur'an. Dalam surat al `Ankabut ayat 5
dikatakan bahwa barangsiapa rindu berjumpa Allah pasti waktunya akan
tiba. Kalimat kerinduan ini kemudian diungkapkan dalam doa ma'tsur
dari hadis riwayat Ahmad; wa as'aluka ladzzata an nadzori ila wajhika
wa as syauqa ila liqa'ika, aku mohon dapat merasakan nikmatnya
memandang wajah Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan Mu.
Menurut Ibn al Qayyim al Jauzi dalam kitab Raudlat al Muhibbin wa
Nuzhat al Musytaqin, Syauq (rindu) adalah pengembaraan hati kepada
sang kekasih (safar al qalb ila al mahbub), dan kobaran cinta yang
apinya berada di dalam hati sang pecinta, hurqat al mahabbah wa il
tihab naruha fi qalb al muhibbi

8. Cinta kulfah. yakni perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik
kepada hal-hal yang positip meski sulit, seperti orang tua yang
menyuruh anaknya menyapu, membersihkan kamar sendiri, meski ada
pembantu. Jenis cinta ini disebut al Qur'an ketika menyatakan bahwa
Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya, la
yukallifullah nafsan illa wus`aha (Q/2:286)

Kewajiban Suami.....?


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 


Kewajiban Suami..!!!
Bergaul dengan istri dengan cara yang ma’ruf (baik)

Yang dimaksud di sini adalah bergaul dengan baik, tidak menyakiti, tidak menangguhkan hak istri padahal mampu, serta menampakkan wajah manis dan ceria di hadapan istri.

Allah Ta’ala berfirman,

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaullah dengan mereka dengan baik.” (QS. An Nisa’: 19).

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.” (QS. Al Baqarah: 228).

Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى

“Sebaik-baik kalian adalah yan berbuat baik kepada keluarganya. Sedangkan aku adalah orang yang paling berbuat baik pada keluargaku” (HR. Tirmidzi no. 3895, Ibnu Majah no. 1977, Ad Darimi 2: 212, Ibnu Hibban 9: 484. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata mengenai surat An Nisa’ ayat 19 di atas, “Berkatalah yang baik kepada istri kalian, perbaguslah amalan dan tingkah laku kalian kepada istri. Berbuat baiklah sebagai engkau suka jika istri kalian bertingkah laku demikian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 400)

Berbuat ma’ruf adalah kalimat yang sifatnya umum, tercakup di dalamnya seluruh hak istri. Nah, setelah ini akan kami utarakan berbagai bentuk berbuat baik kepada istri. Penjelasan ini diperinci satu demi satu agar lebih diperhatikan para suami.

Kedua: Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal dengan baik

Yang dimaksud nafkah adalah harta yang dikeluarkan oleh suami untuk istri dan anak-anaknya berupa makanana, pakaian, tempat tinggal dan hal lainnya. Nafkah seperti ini adalah kewajiban suami berdasarkan dalil Al Qur’an, hadits, ijma’ dan logika.

Dalil Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7).

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma'ruf” (QS. Al Baqarah: 233).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bapak dari si anak punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada ibu si anak, termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya tanpa bersikap berlebih-lebihan dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).

Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika haji wada’,

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti. Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf” (HR. Muslim no. 1218).

Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ - أَوِ اكْتَسَبْتَ - وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ

“Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).

Lalu berapa besar nafkah yang menjadi kewajiban suami?

Disebutkan dalam ayat,

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 7).

عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ

“Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula)” (QS. Al Baqarah: 236).

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hindun,

خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa yang jadi patokan dalam hal nafkah:

Mencukupi istri dan anak dengan baik, ini berbeda tergantung keadaan, tempat dan zaman.
Dilihat dari kemampuan suami, apakah ia termasuk orang yang dilapangkan dalam rizki ataukah tidak.

Termasuk dalam hal nafkah adalah untuk urusan pakaian dan tempat tinggal bagi istri. Patokannya adalah dua hal yang disebutkan di atas.

Mencari nafkah bagi suami adalah suatu kewajiban dan jalan meraih pahala. Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah menunaikan tugas yang mulia ini

6 Jan 2013

Dosa Apa Yang Lebih Besar dari Berzina..??


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 

Semak hikayat ini jadi bisa punya gambaran apa itu dosa yg lebihbesar dari berzina. Pada suatu senja yang lenggang, terlihat seorang wanita berjalan terhuyung-huyung. Pakaiannya yang serba hitam menandakan bahwa dia berada dalam duka cita yang mencekam. Kerudungnya menangkup rapat hampir seluruh wajahnya. Tanpa rias muka atau perhiasan menempel di tubuhnya. Kulit yg bersih, badan yg ramping dan roman mukanya yg ayu, tidak dapat menghapus kesan kepedihan yg tengah merusak hidupnya. Ia melangkah terseret-seret mendekati kediaman rumah Nabi Musa AS. Diketuknya pintu pelan-pelan sambil mengucapkan salam. Maka terdengarlah ucapan dari dalam

“Silakan masuk”. Perempuan cantik itu lalu berjalan masuk sambil kepalanya terus merunduk. Air matanya berderai tatkala ia berkata, “Wahai Nabi Allah. Tolonglah saya, Doakan saya agar Tuhan berkenan
mengampuni dosa keji saya.”

“Apakah dosamu wahai wanita ayu?” tanya Nabi Musa as terkejut. “Saya takut mengatakannya.” jawab wanita cantik. “Katakanlah jangan ragu-ragu!” desak Nabi Musa. Maka perempuan itu pun terpatah bercerita, “Saya ……telah berzina.” Kepala Nabi Musa terangkat, hatinya tersentak. Perempuan itu meneruskan, “Dari
perzinaan itu saya pun……lantas hamil. Setelah anak itu lahir, langsung saya……. Cekik lehernya sampai……tewas”, ucap wanita itu seraya menagis sejadi-jadinya. Nabi musa berapi-api matanya. Dengan muka berang ia menghardik,

"Perempuan bejad, enyah kamu dari sini! Agar siksa Allah tidak jatuh ke dalam rumahku karena perbuatanmu. Pergi!", teriak Nabi Musa sambil memalingkan mata karena jijik. Perempuan berwajah ayu dengan hati bagaikan kaca membentur batu, hancur luluh segera bangkit dan melangkah surut. dia terantuk-antuk ke luar dari dalam rumah Nabi Musa. Ratap tangisnya amat memilukan. Ia tak tahu harus kemana lagi hendak mengadu. Bahkan ia tak tahu mau di bawa kemana lagi kaki-kakinya. Bila seorang Nabi saja sudah menolaknya, bagaimana pula manusia lain bakal menerimanya?

Terbayang olehnya betapa besar dosanya, betapa jahat perbuatannya. Ia tidak tahu bahwa sepeninggalnya, 
Malaikat Jibril turun mendatangi Nabi Musa. Sang Ruhul Amin Jibril lalu
bertanya, “Mengapa engkau menolak seorang wanita yg hendak bertobat dari dosanya? Tidakkah engkau tahu dosa yang lebih besar daripadanya?” Nabi Musa terperanjat. “Dosa apakah yg lebih besar dari kekejian wanita pezina Dan pembunuh itu?” Maka Nabi Musa dengan penuh rasa ingin tahu bertanya
kepada Jibril. “Betulkah Ada dosa yang lebih besar dari pada perempuan yg nista itu?” “Ada!” jawab Jibril dengan tegas. “Dosa apakah itu?” tanya Musa kian penasaran. “Orang yg meninggalkan sholat dengan sengaja Dan tanpa menyesal. Orang itu dosanya lebih besar dari pada seribu kali berzina." 


Mendengar penjelasan ini Nabi Musa kemudian memanggil wanita tadi untuk menghadap kembali kepadanya. Ia mengangkat tangan dengan khusuk untuk memohonkan ampunan kepada Allah untuk perempuan tersebut. Nabi Musa menyadari, orang yang meninggalkan sembahyang dengan sengaja Dan tanpa penyesalan adalah sama saja seperti berpendapat bahwa sembahyang itu tidak wajib Dan tidak perlu atas dirinya. Berarti ia seakan-akan menganggap remeh perintah Allah, bahkan seolah-olah menganggap Tuhan tidak punya hak untuk mengatur Dan memerintah hamba-Nya. Sedang orang yg bertobat Dan menyesali dosanya dengan sungguh-sungguh berarti masih mempunyai iman di dadanya Dan yakin bahwa Allah itu berada di jalan ketaatan kepada-Nya. Itulah sebabnya Tuhan pasti mau menerima kedatangannya.

Dalam salah satu hadits Nabi SAW disebutkan: Orang yang meninggalkan sholat lebih besar dosanya dibanding dengan orang yang membakar 70 buah Al-Qur’an, membunuh 70 nabi Dan bersetubuh dengan ibunya di dalam Ka’bah. Dalam hadist yang lain disebutkan bahwa orang yang meninggalkan sholat sehingga terlewat waktu, kemudian Ia mengqadanya atau mengkhodohnya , maka Ia akan disiksa dalam neraka selama satu huqub. Satu huqub adalah delapan puluh tahun. Satu tahun terdiri dari 360 Hari, sedangkan satu Hari di akherat perbandingannya adalah seribu tahun di dunia. Demikianlah kisah Nabi Musa Dan wanita pezina Dan dua hadist Nabi, mudah-mudahan menjadi pelajaran bagi Kita Dan timbul niat untuk melaksanakan kewajiban sholat dengan istiqomah.