Semua kandungan di dalam blog ini adalah dari tulisan Ustaz Adi Yanto Meridukansurga di laman Facebooknya. Saya sekadar mencuba menghimpunkannya untuk manfaat semua umat. Terima kasih kepada Ustaz Adi yang memberikan keizinannya - Tulus dari Cipher.

31 Mar 2013

Ketika Badai Menerpa


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 

Kehidupan sepasang insan yang selalu berbahagia, tiada masalah, jauh dari perselisihan, tanpa pertengkaran, selalu seia-sekata, tanpa pernah saling menyakiti, yang ada hanya cinta yang tidak pernah layu dan kemesraan yang tidak pernah usang dimakan waktu, tentu hanya ada di surga. 


Adapun biduk rumah tangga di dunia, jangan pernah dibayangkan tidak akan berembus angin masalah atau diterpa badai problem. 


Namun, ini tidak berarti kita tidak perlu menempuh perkara-perkara yang dapat mencegah timbulnya masalah. 


Kita percaya, setiap jalan yang dilalui memang ada penghalang dan rintangannya. Agar bisa melewatinya dengan selamat, tentu kita harus tahu bentuk penghalang tersebut. 


Sebagian orang mengatakan, “Masalah rumah tangga ibarat garam kehidupan suami istri karena setelah masalah berlalu akan berganti dengan kedekatan dan cinta.” 


Persis seperti masakan, setelah digarami rasanya lebih enak. Kalau kita anggap ucapan 
tersebut benar, garam itu tentu tidak melebihi kadarnya. Ibarat masakan kalau tanpa garam tidak enak, namun sebaliknya apabila kelebihan garam rasanya pun tidak karuan. 


Apabila problem dalam sebuah rumah tangga sampai berlebihan niscaya akan muncul kebencian, yang setelahnya dapat mengantarkan kepada 
kebinasaan. 


Namun, hendaknya ucapan di atas tidak sampai mendorong kita untuk membuat-buat perselisihan yang justru akan mengeruhkan kebersamaan kita dengan pasangan hidup. 


Boleh jadi, problem adalah bumbu atau garam dalam berumah tangga bagi orang yang mendapatkan hasil yang baik setelah hilangnya problem tersebut. 


Adapun bagi yang menuai akibat buruk atau kehancuran keluarga, tentu tidak tergambar di pikiran kita bahwa dia akan menganggap manis masalah yang pernah lewat dalam kehidupannya. 


Seorang yang berakal adalah yang berupaya semampunya menjauhi hal-hal yang dapat memicu timbulnya masalah. 


Tentu tidak yang lebih bodoh daripada orang yang mampu meraih faktor-faktor kebahagiaan dalam hidupnya, namun ia meninggalkannya dan justru mencari-cari jalan kesengsaraan lalu ditempuhnya. 


Seorang istri hendaklah pandai bercermin diri, jangan sampai ia menjadi sebab kesengsaraan dan pemicu masalah dalam rumah tangganya. Hendaknya ia berusaha “sesuai” dengan suaminya, tidak menyelisihinya. 


Hindari menjadi istri yang sifatnya seperti yang digambarkan oleh seorang badui ketika ditanya, “Sebutkan pada kami sifat wanita yang paling jelek.” Ia menjawab, “Tubuhnya kurus tidak berdaging. Lisannya seakan-akan tombak. Ia menangis tanpa sebab. Ia tertawa pun bukan karena sesuatu yang patut ditertawakan. Ucapannya adalah ancaman. Suaranya keras. Ia mengubur kebaikan dan justru menyebarkan kejelekan… Jika suaminya masuk, ia keluar. Apabila suaminya keluar, ia masuk. Jika suaminya tertawa, ia malah menangis. Jika suaminya menangis, ia justru tertawa….” 
Istri yang baik adalah istri yang melakukan apa yang disukai oleh suaminya dan menjauhi hal-hal yang dibencinya. Hal-hal semacam ini harus dijaga oleh seorang istri dan ia tidak butuh berulang-ulang diingatkan oleh suaminya di setiap waktu. 


Di sisi lain, ada suami yang menjadi sumber masalah. Ada istri yang diselimuti ketakutan hidup bersama suami yang tidak dikenalinya selain dengan teriakannya. Si suami tidak bergaul dengannya melainkan dengan liar dan buas. Ia menjadikan ketenangan dan ketenteraman yang harusnya terwujud dalam pernikahan menjadi keinginan untuk lari melepaskan diri. 


Apabila si suami datang, ia tidak merasakan gembira karenanya. Apabila suami pergi, istri dan anak- anaknya sampai berharap ia tidak kembali. Rasanya tidak ada sesal apabila berpisah dengannya, sebagaimana sirna rasa bahagianya apabila bertemu dengannya. 


Yang lebih menjadi musibah, suami tega menghina, memukul, dan menyiksa istrinya, padahal seorang istri salehah lebih mahal nilainya daripada sebuah permata yang paling mahal sekalipun. Bisa jadi, di 
sekitar kita tidak hanya satu atau dua orang istri yang bernasib seperti ini. 


Ibaratnya, istri ini hidup dengan makhluk liar dalam jasad seorang insan yang telah tercabut rahmah (kasih sayang) dari hati mereka. Terhadap orang lain, mereka punya perasaan, tetapi tidak terhadap istri dan anak-anak mereka.

30 Mar 2013

Waspadai Sembilan Keturunan Setan


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 


Photo: Waspadai Sembilan Keturunan Setan

assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu....
Waspadai Sembilan Keturunan Setan

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-Baqarah: 169). Setan, makhluk yang sungguh menggemaskan—beragam cara mereka gunakan untuk menggelincirkan manusia. Tak hanya itu, setan juga selalu berusaha tak kenal lelah dan putus asa untuk menjauhkan kita dari ibadah maupun menjadikan manusia durhaka pada Allah.

Karena memang sifatnya yang pembangkang, tugas setan jelas, mencari sebanyak-banyaknya teman untuk menemani mereka di neraka kelak. Misi setan sudah jelas bagi kita semua, menggangu, menggoda, datang dari arah manapun, dan menggelincirkan manusia seluruhnya agar makin jauh dengan Allah SWT. Nabi Adam pun pernah digoda hingga beliau melakukan apa yang dilarang Allah. Berbagai cara setan menjatuhkan manusia ke dalam lubang kehinaan.

Karena busuknya metode setan dalam menenggelamkan manusia ke lembah kekufuran itulah, Rasulullah SAW bersabda, “Anak keturunan setan ada sembilan, yaitu Zalitun, Watsin, Laqus, A’wan, Haffaf, Murrah, Masuth, Dasim, dan Walhan.”

Adapun setan Zalitun ialah setan yang bertugas menggoda penghuni pasar dalam transaksi jual beli dengan menyuruh untuk melakukan kedustaan, penipuan, memuji-muji barang dagangan, mencuri timbangan dan bersumpah palsu.

Kedua, setan Watsin bertugas menggoda manusia yang tertimpa musibah agar tidak bersabar sehingga yang sebagian dari mereka yang berhasil digelincirkan setan berteriak histeris, menampar-nampar pipi dan sebagainya. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku putus hubungan dengan orang-orang yang menjerit-jerit ketika kematian, mencukur rambut di kepalanya, atau bahkan merobek-robek bajunya ketika tertimpa musibah.” (HR. Bukhari Muslim).

Ketiga, setan A’wan—mereka bertugas menggoda para penguasa untuk berbuat zalim. Jabatan terkadang membuat seseorang lupa diri bahwa semua perbuatan kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan pengadilan Allah SWT kelak. Cerminan penguasa zalim telah Allah contohkan dalam sosok yang sangat fenomenal, Firaun.

Keempat, setan Haffaf, yakni setan yang bertugas membujuk dan menggoda orang untuk menenggak minuman keras. Kelima, setan Murrah bertugas menggoda orang agar asyik bermain seruling atau alat musik berikut nyanyiannya.

Sebagai manusia, kita memang butuh hiburan. Namun, hiburan dalam Islam tentu sudah diatur dengan baik dan tidak berlebihan. Artinya, jangan sampai bermain musik menjadi prioritas utama kita sebagai manusia. Tugas manusia ialah ibadah. (QS. Adz-Dzariyat: 56).

Keenam, Setan Laqus bertugas menggoda untuk menyembah api. Menyembah api, atau apa pun selain Allah adalah salah satu bentuk kemusyrikan. Ketujuh, setan Masuth, menggoda manusia untuk menyebarkan berita-berita dusta lewat lisan manusia sehingga sulit ditemukan berita yang sebenarnya.

Kedelapan, setan Dasim, setan yang berada dalam rumah. Jika seseorang tidak mengucapkan salam sewaktu memasuki rumah dan tidak pernah menyebut asma Allah di dalamnya, maka setan akan mengadakan perselisihan di antara anggota keluarga sehingga akan terjadi talak, khulu, maupun tindak kekerasan.

Terakhir, setan Walhan, bertugas menggoda manusia dalam beribadah seperti berwudhu, shalat, dan ibadah-ibadah lain. Setan Walhan, menurut riwayat lain tugas utamanya adalah menggoda manusia saat berwudhu untuk boros dalam menggunakan air. Padahal sudah jelas bagi kita, perilaku boros dalam berwudhu ialah salah satu makruh wudhu.

Kami berlindung pada-Mu ya Allah, dari godaan setan yang terkutuk. Wallahu a’lam bish shawwab.

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-Baqarah: 169). Setan, makhluk yang sungguh menggemaskan—beragam cara mereka gunakan untuk menggelincirkan manusia. Tak hanya itu, setan juga selalu berusaha tak kenal lelah dan putus asa untuk menjauhkan kita dari ibadah maupun menjadikan manusia durhaka pada Allah.

Karena memang sifatnya yang pembangkang, tugas setan jelas, mencari sebanyak-banyaknya teman untuk menemani mereka di neraka kelak. Misi setan sudah jelas bagi kita semua, menggangu, menggoda, datang dari arah manapun, dan menggelincirkan manusia seluruhnya agar makin jauh dengan Allah SWT. Nabi Adam pun pernah digoda hingga beliau melakukan apa yang dilarang Allah. Berbagai cara setan menjatuhkan manusia ke dalam lubang kehinaan.

Karena busuknya metode setan dalam menenggelamkan manusia ke lembah kekufuran itulah, Rasulullah SAW bersabda, “Anak keturunan setan ada sembilan, yaitu Zalitun, Watsin, Laqus, A’wan, Haffaf, Murrah, Masuth, Dasim, dan Walhan.”

Adapun setan Zalitun ialah setan yang bertugas menggoda penghuni pasar dalam transaksi jual beli dengan menyuruh untuk melakukan kedustaan, penipuan, memuji-muji barang dagangan, mencuri timbangan dan bersumpah palsu.

Kedua, setan Watsin bertugas menggoda manusia yang tertimpa musibah agar tidak bersabar sehingga yang sebagian dari mereka yang berhasil digelincirkan setan berteriak histeris, menampar-nampar pipi dan sebagainya. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku putus hubungan dengan orang-orang yang menjerit-jerit ketika kematian, mencukur rambut di kepalanya, atau bahkan merobek-robek bajunya ketika tertimpa musibah.” (HR. Bukhari Muslim).

Ketiga, setan A’wan—mereka bertugas menggoda para penguasa untuk berbuat zalim. Jabatan terkadang membuat seseorang lupa diri bahwa semua perbuatan kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan pengadilan Allah SWT kelak. Cerminan penguasa zalim telah Allah contohkan dalam sosok yang sangat fenomenal, Firaun.

Keempat, setan Haffaf, yakni setan yang bertugas membujuk dan menggoda orang untuk menenggak minuman keras. Kelima, setan Murrah bertugas menggoda orang agar asyik bermain seruling atau alat musik berikut nyanyiannya.

Sebagai manusia, kita memang butuh hiburan. Namun, hiburan dalam Islam tentu sudah diatur dengan baik dan tidak berlebihan. Artinya, jangan sampai bermain musik menjadi prioritas utama kita sebagai manusia. Tugas manusia ialah ibadah. (QS. Adz-Dzariyat: 56).

Keenam, Setan Laqus bertugas menggoda untuk menyembah api. Menyembah api, atau apa pun selain Allah adalah salah satu bentuk kemusyrikan. Ketujuh, setan Masuth, menggoda manusia untuk menyebarkan berita-berita dusta lewat lisan manusia sehingga sulit ditemukan berita yang sebenarnya.

Kedelapan, setan Dasim, setan yang berada dalam rumah. Jika seseorang tidak mengucapkan salam sewaktu memasuki rumah dan tidak pernah menyebut asma Allah di dalamnya, maka setan akan mengadakan perselisihan di antara anggota keluarga sehingga akan terjadi talak, khulu, maupun tindak kekerasan.

Terakhir, setan Walhan, bertugas menggoda manusia dalam beribadah seperti berwudhu, shalat, dan ibadah-ibadah lain. Setan Walhan, menurut riwayat lain tugas utamanya adalah menggoda manusia saat berwudhu untuk boros dalam menggunakan air. Padahal sudah jelas bagi kita, perilaku boros dalam berwudhu ialah salah satu makruh wudhu.

Kami berlindung pada-Mu ya Allah, dari godaan setan yang terkutuk. Wallahu a’lam bish shawwab.

25 Mar 2013

Tips Shalat Khusyuk


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 

Photo: Tips Salat Khusyuk

Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa khusyuk dalam salat mengandung makna batin yang meliputi enam unsur, yaitu:

    Kehadiran hati atau konsentrasi
    Memahami bacaan salat
    Mengagungkan Allah
    Haibah (perasaan takut kepada Allah)
    Raja’ (pengharapan kepada Allah)
    Haya’ (perasaan malu kepada Allah)

Prof. Tengku Hasbi As Shiddieqy mengajukan 7 saran sebagai kiat kusyuk dalam shalat:

    Hendaklah kita menganggap berdiri di hadapan Allah yang Mahakuasa, Yang Maha Mengetahui segala rahasia
    Hendaklah memahami zikir-zikir yang dibaca, yakni memperhatikan maknanya, kandungannya, serta maksudnya.
    Hendaklah memanjangkan rukuk dan sujud (tuma’ninah)
    Tidak mempermainkan anggota tubuh, seperti menggerakkan tangan, menggaruk kepala, dan berpaling-paling.
    Hendaklah tetap memandang ke tempat sujud, walaupun bermata buta atau bersalat di sisi Kabbah.
    Hendaklah menjauhkan diri dari segala yang mengganggu hati, seperti menahan buang air besar atau kecil.

Untuk bisa khusyuk dalam salat diperlukan juga langkah persiapan dan kesiapan sebagai pra-kondisi sebelum salat atau di luar shalat. Pra-kondisi di sini yang dimaksud antara lain:

    Memahami fungsi, tujuan, dan tata cara pelaksanaan salat, dengan mengacu pada petunjuk Al Qur’an dan sunnah Rasul.
    Melaksanakan wudu dengan pelaksanaan dan penghayatan yang baik dan benar
    Menyambut bacaan azan dan iqamah dengan penuh penghayatan
    Memilikih tempat salat (masjid / musala) yang kondusif, yaitu suci, bersih, nyaman, tenang, dan menyenangkan.
    Menjauhkan berbagai hal yang bisa mengganggu konsentrasi pelaksanaan salat. Misal: mematikan handphone.
    Memiliki niat yang ikhlas disertai kedekatan dan ketaatan kepada Allah.

Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa khusyuk dalam salat mengandung makna batin yang meliputi enam unsur, yaitu:

Kehadiran hati atau konsentrasi
Memahami bacaan salat
Mengagungkan Allah
Haibah (perasaan takut kepada Allah)
Raja’ (pengharapan kepada Allah)
Haya’ (perasaan malu kepada Allah)

Prof. Tengku Hasbi As Shiddieqy mengajukan 7 saran sebagai kiat kusyuk dalam shalat:

Hendaklah kita menganggap berdiri di hadapan Allah yang Mahakuasa, Yang Maha Mengetahui segala rahasia
Hendaklah memahami zikir-zikir yang dibaca, yakni memperhatikan maknanya, kandungannya, serta maksudnya.
Hendaklah memanjangkan rukuk dan sujud (tuma’ninah)
Tidak mempermainkan anggota tubuh, seperti menggerakkan tangan, menggaruk kepala, dan berpaling-paling.
Hendaklah tetap memandang ke tempat sujud, walaupun bermata buta atau bersalat di sisi Kabbah.
Hendaklah menjauhkan diri dari segala yang mengganggu hati, seperti menahan buang air besar atau kecil.

Untuk bisa khusyuk dalam salat diperlukan juga langkah persiapan dan kesiapan sebagai pra-kondisi sebelum salat atau di luar shalat. Pra-kondisi di sini yang dimaksud antara lain:

Memahami fungsi, tujuan, dan tata cara pelaksanaan salat, dengan mengacu pada petunjuk Al Qur’an dan sunnah Rasul.
Melaksanakan wudu dengan pelaksanaan dan penghayatan yang baik dan benar
Menyambut bacaan azan dan iqamah dengan penuh penghayatan
Memilikih tempat salat (masjid / musala) yang kondusif, yaitu suci, bersih, nyaman, tenang, dan menyenangkan.
Menjauhkan berbagai hal yang bisa mengganggu konsentrasi pelaksanaan salat. Misal: mematikan handphone.
Memiliki niat yang ikhlas disertai kedekatan dan ketaatan kepada Allah.

19 Mar 2013

Jilbab Bukan Kewajiban Namun Pilihan? (1)


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 

Photo: ‎Jilbab Bukan Kewajiban Namun Pilihan (1)


Bismillaahir rahmaanir rahiim
Jilbab adalah masalah fundamental yang bukanlah masalah furu’iyyah sebagaimana dikira segelintir orang. Sampai-sampai para ulama berkata bahwa siapa yang menentang wajibnya jilbab, maka ia kafir dan murtad. Sedangkan orang yang tidak mau mengenakan jilbab karena mengikuti segelintir orang tanpa mengingkari wajibnya, maka ia adalah orang yang berdosa, namun tidak kafir.

Dalil yang Menunjukkan Wajibnya Jilbab

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59). Ayat ini menunjukkan wajibnya jilbab bagi seluruh wanita muslimah.

Ayat lain yang menunjukkan wajibnya jilbab,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31)

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.  Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nur: 30-31).

Dalil yang menunjukkan wajibnya jilbab adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ ، فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ ، وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلاَّهُنَّ . قَالَتِ امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ . قَالَ « لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا »

Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata, “Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haid dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita haid harus menjauhi tempat shalat mereka. Seorang wanita bertanya:, “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.” (HR. Bukhari no. 351 dan Muslim no. 890).

Para ulama sepakat (berijma’) bahwa berjilbab itu wajib. Yang mereka perselisihkan adalah dalam masalah wajah dan kedua telapak tangan apakah wajib ditutupi.

Apa Itu Jilbab?

Dalam Lisanul ‘Arob, jilbab adalah pakaian yang lebar yang lebih luas dari khimar (kerudung) berbeda dengan selendang (rida’) dipakai perempuan untuk menutupi kepala dan dadanya. Jadi kalau kita melihat dari istilah bahasa itu sendiri, jilbab adalah seperti mantel karena menutupi kepala dan dada sekaligus.

Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa jilbab adalah pakaian atas (rida’) yang menutupi khimar. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah, Al Hasan Al Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An Nakho’i, dan ‘Atho’ Al Khurosaani. Untuk saat ini, jilbab itu semisal izar (pakaian bawah). Al Jauhari berkata bahwa jilbab adalah “milhafah” (kain penutup).

Asy Syaukani rahimahullah berkata bahwa jilbab adalah pakaian yang ukurannya lebih besar dari khimar. Ada ulama yang katakan bahwa jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh badan wanita. Dalam hadits shahih dari ‘Ummu ‘Athiyah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,

لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

“Hendaklah saudaranya mengenakan jilbab untuknya.” Al Wahidi mengatakan bahwa pakar tafsir mengatakan, “Yaitu hendaklah ia menutupi wajah dan kepalanya kecuali satu mata saja.”

Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Zaadul Masiir memberi keterangan mengenai jilbab. Beliau nukil perkataan Ibnu Qutaibah, di mana ia memberikan penjelasan, “Hendaklah wanita itu mengenakan rida’nya (pakaian atasnya).” Ulama lainnya berkata, “Hendaklah para wanita menutup kepala dan wajah mereka, supaya orang-orang tahu bahwa ia adalah wanita merdeka (bukan budak).”

Syaikh As Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa jilbab adalah milhafah (kain penutup atas), khimar, rida’ (kain penutup badan atas) atau selainnya yang dikenakan di atas pakaian. Hendaklah jilbab tersebut menutupi diri wanita itu, menutupi wajah dan dadanya.

Kita pun dapat menyaksikan praktek jilbab di masa salaf dahulu.

قال علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس: أمر الله نساء المؤمنين إذا خرجن من بيوتهن في حاجة أن يغطين وجوههن من فوق رؤوسهن بالجلابيب، ويبدين عينًا واحدة.

‘Ali bin Abi Tholhah berkata, dari  Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Allah telah memerintahkan kepada wanita beriman jika mereka keluar dari rumah mereka dalam keadaan tertutup wajah dan atas kepala mereka dengan jilbab dan yang nampak hanyalah satu mata.”

وقال محمد بن سيرين: سألت عَبيدةَ السّلماني عن قول الله تعالى: { يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ } ، فغطى وجهه ورأسه وأبرز عينه اليسرى.

Muhammad bin Sirin berkata, “Aku pernah bertanya pada As Salmani mengenai firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”, lalu beliau berkata, “Hendaklah menutup wajah dan kepalanya, dan hanya menampakkan mata sebelah kiri.”

Pandangan Kalangan Liberal Mengenai Jilbab

Salah satu tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal), Siti Musdah Mulia, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah (Ciputat, Banten) punya beberapa pendapat yang nyleneh mengenai jilbab dan ia terkenal dengan pemikiran kebebasannya. Dalam talkshow dan bedah buku yang berjudul “Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan (Melepas Jilbab)”, juga di forum lainnya, beliau mengeluarkan beberapa pendapat kontroversial mengenai jilbab yang kami rinci sebagai berikut:

Pertama: Menurut Bu Profesor Musdah Mulia, guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat, realitas sosiologis di masyarakat, jilbab tidak menyimbolkan apa-apa, tidak menjadi lambang kesalehan dan ketakwaan. Tidak ada jaminan bahwa pemakai jilbab adalah perempuan shalehah, atau sebaliknya perempuan yang tidak memakai jilbab bukan perempuan shalehah. Jilbab tidak identik dengan kesalehan dan ketakwaan seseorang.

Sanggahan:

Bagaimana mungkin kita katakan jilbab bukanlah lambang kesalehan dan ketakwaan. Orang liberal biasa hanya pintar berkoar-koar tetapi tidak pernah ilmiah. Kalau mau ilmiah, yah seharusnya berhujjah dengan dalil. Ibnul Qayyim menukilkan perkataan seorang penyair:

العلم قال الله قال رسوله

“Ilmu adalah apa kata Allah, apa kata Rasul-Nya.” Jadi kalau bukan Al Qur’an dan hadits yang dibawa namun hanya pintar omong, maka itu berarti tidak ilmiah.[11]

Bagaimana dikatakan berjilbab bukan lambang ketakwaan? Sedangkan takwa sebagaimana kata Tholq bin Habib,

التَّقْوَى : أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَرْجُو رَحْمَةَ اللَّهِ وَأَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَخَافَ عَذَابَ اللَّهِ

“Takwa: engkau melakukan ketaatan pada Allah atas cahaya dari Allah dalam rangka mengharap rahmat Allah dan engkau meninggalkan maksiat pada Allah atas cahaya dari Allah dalam rangka takut akan adzab Allah.”[12] Bukankah kewajiban mengenakan jilbab sudah diperintahkan dalam ayat,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“ (QS. Al Ahzab: 59). Juga dalam ayat,

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya”(QS. An Nur: 31). Ini jelas perintah dan menjalankan perintah adalah bagian dari ketakwaan dan bentuk taat pada Allah.

Enggan berjilbab jelas termasuk maksiat karena dalam ayat setelah menerangkan sifat mulia wanita yang berjilbab ditutup dengan,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nur: 31). Kalau disuruh bertaubat berarti tidak berjilbab termasuk maksiat. Lantas bagaimana dikatakan berjilbab bukan bagian dari takwa? Sungguh aneh jalan pikirannya.

Jika jilbab bukan lambang ketakwaan karena ada yang berjilbab bermaksiat, maka kita boleh saja menyatakan shalat juga bukan lambing ketakwaan karena ada yang shalat namun masih bermaksiat. Namun tidak ada yang berani menyatakan untuk shalat pun demikian. Jadi, tidak jelas bagaimana cara berpikir para pengagum kebebasan (orang liberal).

Kata Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat terakhir di atas, yang namanya keberuntungan diraih dengan melakukan perintah Allah dan Rasul-Nya dan meninggalkan yang dilarang.[13] Jadi, biar selamat di akhirat dan selamat dari jilatan neraka, maka berjilbablah.

Kedua: Bu Profesor yang sangat mengagumi Gus Dur berkata pula, “Tidaklah keliru jika dikatakan bahwa jilbab dan batas aurat perempuan merupakan masalah khilafiyah yang tidak harus menimbulkan tuduh menuduh apalagi kafir mengkafirkan. Mengenakan, tidak mengenakan, atau menanggalkan jilbab sesungguhnya merupakan pilihan, apapun alasannya. Yang paling bijak adalah menghargai dan menghormati pilihan setiap orang, tanpa perlu menghakimi sebagai benar atau salah terhadap setiap pilihan.”

Ibu Musdah menyampaikan pula, “Kalau begitu, jelas bahwa menggunakan jilbab tidak menjadi keharusan bagi perempuan Islam, tetapi bisa dianggap sebagai cerminan sikap kehati-hatian dalam melaksanakan tuntutan Islam. Kita perlu membangun sikap apresiasi terhadap perempuan yang atas kerelaannya sendiri memakai jilbab, sebaliknya juga menghargai mereka yang dengan pilihan bebasnya melepas atau membuka kembali jilbabnya. Termasuk mengapresiasi mereka yang sama sekali tidak tertarik memakai jilbab.”

Sanggahan:

Waw … satu lagi pendapat yang aneh. Bagaimana bisa dikatakan jilbab adalah suatu pilihan bukan suatu kewajiban?

Ayat-ayat yang menerangkan wajibnya jilbab sudah jelas. Hadits pun mengiyakannya. Begitu pula ijma’ para ulama menyatakan wajib bagi wanita menutup seluruh badannya dengan jilbab kecuali terdapat perselisihan pada wajah dan kedua telapak tangan. Sebagian ulama menyatakan bahwa wajah dan telapak tangan juga wajib ditutup. Sebagaian lain mengatakan bahwa wajah dan telapak tangan boleh dibuka, namun menutupnya adalah sunnah (bukan wajib). Dalil keduanya sama-sama kuat, jadi tetap kedua pendapat tersebut mewajibkan jilbab, namun diperselisihkan manakah yang boleh ditampakkan.

Jadi batasan aurat wanita memang ada khilaf apakah wajah dan telapak tangan termasuk aurat. Namun para ulama sepakat akan wajibnya jilbab. Sehingga pendapat Bu Profesor barangkali perlu dirujuk kembali dan harus membuktikan keilmiahannya, bukan hanya asal berkoar.

Kalau jilbab telah dinyatakan wajib, maka tidak ada kata tawar menawar atau dijadikan pilihan. Kalau dipaksakan dalam Perda agar para pegawai berjilbab, itu langkah yang patut didukung. Bukan malah seperti kata JIL yang menganggap Perda tersebut malah mengekang wanita.

Begitu pula tidak boleh mengapresiasi orang yang memamerkan lekuk tubuhnya, gaya rambut dan pamer aurat. Karena perbuatan mereka patut diingkari. Jika punya kekuasaan (sebagai penguasa), maka diingkari dengan tangan. Jika tidak mampu, maka dengan lisan dan tulisan sebagai peringatan dan pengingkaran. Jika tidak mampu, maka wajib diingkari dengan hati. Jika dengan hati tidak ada pengingkaran malah memberikan apresiasi, maka ini jelas tanda persetujuan pada kemungkaran dan tanda bermasalahnya iman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dia merubah hal itu dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi, hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan inilah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)

-bersambung insya Allah-‎

Jilbab adalah masalah fundamental yang bukanlah masalah furu’iyyah sebagaimana dikira segelintir orang. Sampai-sampai para ulama berkata bahwa siapa yang menentang wajibnya jilbab, maka ia kafir dan murtad. Sedangkan orang yang tidak mau mengenakan jilbab karena mengikuti segelintir orang tanpa mengingkari wajibnya, maka ia adalah orang yang berdosa, namun tidak kafir.

Dalil yang Menunjukkan Wajibnya Jilbab

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59). Ayat ini menunjukkan wajibnya jilbab bagi seluruh wanita muslimah.

Ayat lain yang menunjukkan wajibnya jilbab,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31)

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nur: 30-31).

Dalil yang menunjukkan wajibnya jilbab adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ ، فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ ، وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلاَّهُنَّ . قَالَتِ امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ . قَالَ « لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا »

Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata, “Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haid dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita haid harus menjauhi tempat shalat mereka. Seorang wanita bertanya:, “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.” (HR. Bukhari no. 351 dan Muslim no. 890).

Para ulama sepakat (berijma’) bahwa berjilbab itu wajib. Yang mereka perselisihkan adalah dalam masalah wajah dan kedua telapak tangan apakah wajib ditutupi.

Apa Itu Jilbab?

Dalam Lisanul ‘Arob, jilbab adalah pakaian yang lebar yang lebih luas dari khimar (kerudung) berbeda dengan selendang (rida’) dipakai perempuan untuk menutupi kepala dan dadanya. Jadi kalau kita melihat dari istilah bahasa itu sendiri, jilbab adalah seperti mantel karena menutupi kepala dan dada sekaligus.

Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa jilbab adalah pakaian atas (rida’) yang menutupi khimar. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah, Al Hasan Al Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An Nakho’i, dan ‘Atho’ Al Khurosaani. Untuk saat ini, jilbab itu semisal izar (pakaian bawah). Al Jauhari berkata bahwa jilbab adalah “milhafah” (kain penutup).

Asy Syaukani rahimahullah berkata bahwa jilbab adalah pakaian yang ukurannya lebih besar dari khimar. Ada ulama yang katakan bahwa jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh badan wanita. Dalam hadits shahih dari ‘Ummu ‘Athiyah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,

لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

“Hendaklah saudaranya mengenakan jilbab untuknya.” Al Wahidi mengatakan bahwa pakar tafsir mengatakan, “Yaitu hendaklah ia menutupi wajah dan kepalanya kecuali satu mata saja.”

Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Zaadul Masiir memberi keterangan mengenai jilbab. Beliau nukil perkataan Ibnu Qutaibah, di mana ia memberikan penjelasan, “Hendaklah wanita itu mengenakan rida’nya (pakaian atasnya).” Ulama lainnya berkata, “Hendaklah para wanita menutup kepala dan wajah mereka, supaya orang-orang tahu bahwa ia adalah wanita merdeka (bukan budak).”

Syaikh As Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa jilbab adalah milhafah (kain penutup atas), khimar, rida’ (kain penutup badan atas) atau selainnya yang dikenakan di atas pakaian. Hendaklah jilbab tersebut menutupi diri wanita itu, menutupi wajah dan dadanya.

Kita pun dapat menyaksikan praktek jilbab di masa salaf dahulu.

قال علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس: أمر الله نساء المؤمنين إذا خرجن من بيوتهن في حاجة أن يغطين وجوههن من فوق رؤوسهن بالجلابيب، ويبدين عينًا واحدة.

‘Ali bin Abi Tholhah berkata, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Allah telah memerintahkan kepada wanita beriman jika mereka keluar dari rumah mereka dalam keadaan tertutup wajah dan atas kepala mereka dengan jilbab dan yang nampak hanyalah satu mata.”

وقال محمد بن سيرين: سألت عَبيدةَ السّلماني عن قول الله تعالى: { يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ } ، فغطى وجهه ورأسه وأبرز عينه اليسرى.

Muhammad bin Sirin berkata, “Aku pernah bertanya pada As Salmani mengenai firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”, lalu beliau berkata, “Hendaklah menutup wajah dan kepalanya, dan hanya menampakkan mata sebelah kiri.”

Pandangan Kalangan Liberal Mengenai Jilbab

Salah satu tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal), Siti Musdah Mulia, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah (Ciputat, Banten) punya beberapa pendapat yang nyleneh mengenai jilbab dan ia terkenal dengan pemikiran kebebasannya. Dalam talkshow dan bedah buku yang berjudul “Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan (Melepas Jilbab)”, juga di forum lainnya, beliau mengeluarkan beberapa pendapat kontroversial mengenai jilbab yang kami rinci sebagai berikut:

Pertama: Menurut Bu Profesor Musdah Mulia, guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat, realitas sosiologis di masyarakat, jilbab tidak menyimbolkan apa-apa, tidak menjadi lambang kesalehan dan ketakwaan. Tidak ada jaminan bahwa pemakai jilbab adalah perempuan shalehah, atau sebaliknya perempuan yang tidak memakai jilbab bukan perempuan shalehah. Jilbab tidak identik dengan kesalehan dan ketakwaan seseorang.

Sanggahan:

Bagaimana mungkin kita katakan jilbab bukanlah lambang kesalehan dan ketakwaan. Orang liberal biasa hanya pintar berkoar-koar tetapi tidak pernah ilmiah. Kalau mau ilmiah, yah seharusnya berhujjah dengan dalil. Ibnul Qayyim menukilkan perkataan seorang penyair:

العلم قال الله قال رسوله

“Ilmu adalah apa kata Allah, apa kata Rasul-Nya.” Jadi kalau bukan Al Qur’an dan hadits yang dibawa namun hanya pintar omong, maka itu berarti tidak ilmiah.[11]

Bagaimana dikatakan berjilbab bukan lambang ketakwaan? Sedangkan takwa sebagaimana kata Tholq bin Habib,

التَّقْوَى : أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَرْجُو رَحْمَةَ اللَّهِ وَأَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَخَافَ عَذَابَ اللَّهِ

“Takwa: engkau melakukan ketaatan pada Allah atas cahaya dari Allah dalam rangka mengharap rahmat Allah dan engkau meninggalkan maksiat pada Allah atas cahaya dari Allah dalam rangka takut akan adzab Allah.”[12] Bukankah kewajiban mengenakan jilbab sudah diperintahkan dalam ayat,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“ (QS. Al Ahzab: 59). Juga dalam ayat,

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya”(QS. An Nur: 31). Ini jelas perintah dan menjalankan perintah adalah bagian dari ketakwaan dan bentuk taat pada Allah.

Enggan berjilbab jelas termasuk maksiat karena dalam ayat setelah menerangkan sifat mulia wanita yang berjilbab ditutup dengan,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nur: 31). Kalau disuruh bertaubat berarti tidak berjilbab termasuk maksiat. Lantas bagaimana dikatakan berjilbab bukan bagian dari takwa? Sungguh aneh jalan pikirannya.

Jika jilbab bukan lambang ketakwaan karena ada yang berjilbab bermaksiat, maka kita boleh saja menyatakan shalat juga bukan lambing ketakwaan karena ada yang shalat namun masih bermaksiat. Namun tidak ada yang berani menyatakan untuk shalat pun demikian. Jadi, tidak jelas bagaimana cara berpikir para pengagum kebebasan (orang liberal).

Kata Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat terakhir di atas, yang namanya keberuntungan diraih dengan melakukan perintah Allah dan Rasul-Nya dan meninggalkan yang dilarang.[13] Jadi, biar selamat di akhirat dan selamat dari jilatan neraka, maka berjilbablah.

Kedua: Bu Profesor yang sangat mengagumi Gus Dur berkata pula, “Tidaklah keliru jika dikatakan bahwa jilbab dan batas aurat perempuan merupakan masalah khilafiyah yang tidak harus menimbulkan tuduh menuduh apalagi kafir mengkafirkan. Mengenakan, tidak mengenakan, atau menanggalkan jilbab sesungguhnya merupakan pilihan, apapun alasannya. Yang paling bijak adalah menghargai dan menghormati pilihan setiap orang, tanpa perlu menghakimi sebagai benar atau salah terhadap setiap pilihan.”

Ibu Musdah menyampaikan pula, “Kalau begitu, jelas bahwa menggunakan jilbab tidak menjadi keharusan bagi perempuan Islam, tetapi bisa dianggap sebagai cerminan sikap kehati-hatian dalam melaksanakan tuntutan Islam. Kita perlu membangun sikap apresiasi terhadap perempuan yang atas kerelaannya sendiri memakai jilbab, sebaliknya juga menghargai mereka yang dengan pilihan bebasnya melepas atau membuka kembali jilbabnya. Termasuk mengapresiasi mereka yang sama sekali tidak tertarik memakai jilbab.”

Sanggahan:

Waw … satu lagi pendapat yang aneh. Bagaimana bisa dikatakan jilbab adalah suatu pilihan bukan suatu kewajiban?

Ayat-ayat yang menerangkan wajibnya jilbab sudah jelas. Hadits pun mengiyakannya. Begitu pula ijma’ para ulama menyatakan wajib bagi wanita menutup seluruh badannya dengan jilbab kecuali terdapat perselisihan pada wajah dan kedua telapak tangan. Sebagian ulama menyatakan bahwa wajah dan telapak tangan juga wajib ditutup. Sebagaian lain mengatakan bahwa wajah dan telapak tangan boleh dibuka, namun menutupnya adalah sunnah (bukan wajib). Dalil keduanya sama-sama kuat, jadi tetap kedua pendapat tersebut mewajibkan jilbab, namun diperselisihkan manakah yang boleh ditampakkan.

Jadi batasan aurat wanita memang ada khilaf apakah wajah dan telapak tangan termasuk aurat. Namun para ulama sepakat akan wajibnya jilbab. Sehingga pendapat Bu Profesor barangkali perlu dirujuk kembali dan harus membuktikan keilmiahannya, bukan hanya asal berkoar.

Kalau jilbab telah dinyatakan wajib, maka tidak ada kata tawar menawar atau dijadikan pilihan. Kalau dipaksakan dalam Perda agar para pegawai berjilbab, itu langkah yang patut didukung. Bukan malah seperti kata JIL yang menganggap Perda tersebut malah mengekang wanita.

Begitu pula tidak boleh mengapresiasi orang yang memamerkan lekuk tubuhnya, gaya rambut dan pamer aurat. Karena perbuatan mereka patut diingkari. Jika punya kekuasaan (sebagai penguasa), maka diingkari dengan tangan. Jika tidak mampu, maka dengan lisan dan tulisan sebagai peringatan dan pengingkaran. Jika tidak mampu, maka wajib diingkari dengan hati. Jika dengan hati tidak ada pengingkaran malah memberikan apresiasi, maka ini jelas tanda persetujuan pada kemungkaran dan tanda bermasalahnya iman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dia merubah hal itu dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi, hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan inilah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)


Bersambung.Insyaallah.